Anda mungkin pernah membaca penelitian yang terkesan bertele-tele, seolah penulisnya ‘berbicara tanpa arah’, seperti menaiki kendaraan, tetapi tidak tahu tujuan. Atau mungkin, sebagai mahasiswa, Anda bingung mengapa dosen terus-menerus meminta revisi latar belakang dan rumusan masalah, padahal menurut Anda, keduanya telah dimasukkan secara rinci dan jelas.
Masalahnya, banyak akademisi yang terjebak dalam kesalahan klasik ini, yaitu memisahkan latar belakang penelitian dan rumusan masalah seolah keduanya merupakan elemen yang tidak berkaitan. Padahal, keduanya harus saling berkaitan, jika tidak, penelitian berisiko bisa dianggap tidak berdasar, atau lebih parah sekadar ‘omong kosong’.
Mengapa Latar Belakang dan Rumusan Masalah Harus Saling Terkait?
Latar belakang penelitian bukan sekadar narasi panjang lebar tentang topik. Ia harus menunjukkan celah (gap) pengetahuan atau masalah nyata yang mendorong penelitian Anda. Sementara itu, rumusan masalah berfungsi sebagai pemetaan pertanyaan spesifik yang akan dijawab melalui penelitian.
Contoh kasus:
1. Latar belakang lemah: “Kecanduan gadget pada remaja meningkat akhir-akhir ini.”
2. Latar belakang kuat: “Survei Kemenkes (2023) menunjukkan 73% remaja Indonesia mengalami gangguan tidur akibat rata-rata penggunaan gadget 8 jam/hari. Namun, belum ada penelitian yang menguji efektivitas intervensi orang tua dalam mengurangi durasi tersebut.”
Contoh pada latar belakang pertama tidak berdasarkan data, tidak jelas masalahnya apa, dan cenderung bersifat asumtif. Berbeda dengan contoh sebelumnya, contoh kedua memiliki data yang jelas, gap, serta langsung mengarah pada inti permasalahan, yaitu kecanduan gadget.
Berdasarkan hal tersebut, dapat lahir rumusan masalah yang berkaitan, misalnya “Bagaimana efektivitas program pelatihan orang tua dalam mengurangi durasi penggunaan gadget remaja?”. Jika kedua elemen ini tidak selaras, penelitian akan kehilangan arah dan cenderung mengambang. Biasanya dosen penguji akan mengkritik dengan mengatakan bahwa bagian tersebut tidak berkaitan dengan rumusan masalah yang dibuat. Hal ini bisa menjadi kendala yang memakan waktu lama apabila dibiarkan.
Cara Menghubungkan Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Kegagalan menghubungkan latar belakang dengan rumusan masalah kerap menjadikan penelitian tampak tidak logis, kehilangan fokus, bahkan terkesan asal-asalan. Padahal, jika disusun secara tepat dan saling berkaitan, kedua elemen ini akan menjadi fondasi utama sebuah karya ilmiah. Berikut beberapa cara yang bisa Anda terapkan untuk memastikan keterkaitan latar belakang dan rumusan masalah:
1. Mulai dengan Fakta, Bukan Opini
Gunakan data aktual (statistik, jurnal, atau temuan lapangan) sebagai dasar latar belakang. Hindari kalimat seperti “Penulis merasa topik ini penting” tanpa bukti.
Contoh:
a. “Banyak pelajar mengalami stres akademik.”
b. “Survei Kemdikbud (2023) terhadap 1.000 pelajar SMA mengungkap 67% responden mengalami gejala stres berat selama ujian nasional, tetapi hanya 12% yang mengakses layanan konseling.”
Pada kalimat (a) tidak memiliki data dan hanya berdasarkan asumsi pribadi, sedangkan kalimat (b) dilengkapi dengan sumber yang kredibel. Dengan begitu, rumusan masalahnya bisa berupa, “Faktor apa yang menghambat utilisasi layanan konseling stres akademik di kalangan pelajar SMA?”
2. Tunjukkan Kontradiksi atau Ketidaklengkapan
Latar belakang yang kuat harus mengekspos ketidakkonsistenan dalam penelitian sebelumnya atau kebutuhan solusi baru.
Contoh:
“Studi oleh A (2020) dan B (2022) membuktikan media sosial memicu kecemasan. Namun, keduanya hanya berfokus pada mahasiswa urban, padahal remaja pedesaan juga rentan terpapar konten negatif dengan karakteristik berbeda.”
Rumusan masalahnya bisa berupa: “Bagaimana dampak media sosial terhadap tingkat kecemasan remaja pedesaan yang terpapar konten radikal?”
3. Rumuskan Pertanyaan Penelitian yang Spesifik dan Terukur
Pada rumusan masalah, pastikan pertanyaan yang muncul spesifik sesuai dengan penelitian yang akan atau sedang dilakukan. Rumusan masalah tersebut harus menggunakan kata tanya yang jelas, seperti bagaimana, sejauh mana, atau apa dampaknya. Penulis juga harus membatasi variabel yang digunakan, seperti populasi, lokasi, hingga periode waktu yang dilakukan.
Contoh:
a. “Apa saja faktor yang memengaruhi kepuasan pasien?”
b. “Bagaimana kualitas layanan administrasi dan waktu tunggu memengaruhi kepuasan pasien rawat jalan di RSUD Kota X periode 2024?”
Pada kalimat (a) rumusan masalah yang dihadirkan terlalu luas dan tidak berbatas, sedangkan kalimat (b) terspesifik dengan jelas batasannya. Lahirnya rumusan masalah yang spesifik juga buah dari latar belakang yang kuat. Alhasil, latar belakang dan rumusan masalah memiliki kesinambungan yang jelas.
4. Jangan Lupa Kaitkan dengan Tujuan Penelitian
Setelah menyusun dan merumuskan masalah secara tepat, peneliti juga harus memastikan keduanya terhubung dengan tujuan penelitian. Tujuan berfungsi sebagai pernyataan eksplisit yang ingin dicapai sehingga perlu selaras dengan permasalahan yang dirumuskan. Jika rumusan masalah bertanya “Bagaimana efektivitas program pelatihan orang tua…”, maka tujuan sebaiknya berbunyi “Untuk menganalisis efektivitas program pelatihan orang tua…”.
Konsistensi dan keterhubungan antara latar belakang, rumusan masalah, hingga tujuan ini akan membantu pembaca, termasuk dosen pembimbing atau dosen penguji, menilai, dan mengetahui arah penelitian secara keseluruhan.
Baca juga: Takut Plagiarisme? Ini Cara Parafrasa yang Benar
Latar belakang penelitian dan rumusan masalah ibarat fondasi dan arah dari sebuah bangunan ilmiah. Tanpa keduanya saling terhubung secara logis dan relevan, sebuah penelitian akan mudah goyah bahkan dianggap tidak akademis. Melalui latar belakang yang berbasis data, logis, dan spesifik, penulis tidak hanya membangun narasi yang kuat, tetapi juga menciptakan pondasi untuk penelitian tersebut.
Butuh informasi lainnya terkait penelitian atau dunia pendidikan? Temukan artikel, tips, dan Kelas Gratis seputar penelitian hanya di Ebizmark.id! Anda juga dapat menemukan berbagai konten menarik melalui Instagram @ebizmark.id!